"Tembok Tak Terlihat: Sertifikasi BIS India Hambat Ekspor Industri Indonesia"

Jakarta, APKINDONews - Bagi produsen Indonesia, ekspor ke India kini terasa seperti berlayar melawan arus deras. Masalahnya bukan tarif, bukan pula kuota. Melainkan tembok tak terlihat bernama Sertifikasi Bureau of Indian Standards (BIS). Sejumlah pelaku industri mengeluh: proses sertifikasi yang panjang, mahal, tak transparan, dan acap kali berujung pada ketidakpastian. Dalam beberapa kasus, pengajuan izin telah dilakukan sejak dua tahun lalu, namun audit pun tak kunjung dilakukan.

Ini bukan cerita satu industri saja. Dari produsen viscose fiber, kertas tulis, hingga tekstil medis dan kayu lapis — semua menghadapi tantangan yang hampir sama: India menerapkan kebijakan Compulsory Certification Order (CCO) secara sepihak dan serentak, tanpa waktu adaptasi yang memadai bagi eksportir luar negeri. Berikut ragam kisah dan pengalaman berbagai pihak yang diangkat dari rapat konsolidasi antar asosiasi, Senin(16/6/2025).

“Kami sudah diaudit, tapi belum juga mendapat sertifikat hingga kini,” keluh seorang perwakilan industri kayu lapis Indonesia. “Bahkan beberapa perusahaan lain belum tahu kapan akan diaudit.”

Laporan dari Lapangan: Banyak Industri, Satu Masalah

Pertemuan lintas asosiasi industri Indonesia yang diinisiasi oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan berbagai kementerian pada Mei dan Juni 2025 memperlihatkan skala masalah yang lebih besar dari perkiraan.

Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menyebut bahwa sertifikasi untuk produk kertas tulis (HS 4802) hingga kini belum menemui kejelasan. Bahkan saat lisensi lama berakhir, perusahaan harus menunggu berbulan-bulan untuk pembaruan, menyebabkan potensi ekspor tertahan di pelabuhan.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) juga mengungkapkan kekhawatiran mendalam. Produk viscose dari Indonesia — yang sebelumnya mendominasi pasar India — kini nyaris tak masuk karena belum memiliki lisensi BIS. Padahal, pada 2021-2022, ekspor viscose Indonesia sempat mengungguli Tiongkok di pasar India.

“Kami melihat indikasi jelas bahwa kebijakan ini digunakan sebagai alat proteksi non-tarif,” ujar Redma Gita Wirawasta, perwakilan APSYFI. “Perusahaan viscose dari negara tertentu mendapatkan sertifikat dengan mudah, sementara kami terus menunggu audit yang tak kunjung tiba.”

Kebijakan India: Melindungi Pasar atau Diskriminasi Terselubung?

BIS dengan CCO yang diberlakukan India menjadi alat teknokratis yang berdampak luas terhadap ekspor negara mitra. Menurut beberapa pengamat, kebijakan ini tidak sekadar soal standar mutu, melainkan sarat dengan muatan proteksionis.

Farhan Aqil, Sekjen APSyFI, dalam sebuah rapat lintas sektoral, menyebut bahwa India mulai menerapkan kebijakan ini secara ketat sejak defisit neraca perdagangannya membengkak, khususnya terhadap produk manufaktur seperti viscose fibre, tekstil, dan plywood.

“Ini jelas strategi substitusi impor,” ujar Farhan. “Jika produk dari Indonesia terlalu kompetitif, maka diberlakukanlah hambatan teknis seperti Sertifikasi BIS.”

Plywood: Satu Komoditas, Banyak Luka

Industri kayu lapis (plywood) Indonesia juga menjadi korban dari kebijakan ini. Hingga Juni 2025, 10 perusahaan telah mengajukan permohonan sertifikasi ke BIS, namun hanya tiga yang telah diaudit dan belum satu pun mendapatkan lisensi final. Sisanya masih menunggu giliran audit, di tengah ketidakjelasan jadwal dan alasan keterbatasan auditor dari India.

Dr. Bambang Soepijanto, Ketua Umum APKINDO melaporkan bahwa Indonesia telah mengirim surat resmi ke pemerintah India pada Maret 2024 untuk meminta penundaan implementasi CCO minimal satu tahun. Namun, belum ada balasan yang menggembirakan.

“BIS menuntut deposit US$10.000 per perusahaan. Verifikasi pun belum dilaksanakan. Ini bukan proses, ini jebakan,” ujar salah satu eksekutif perusahaan.

Sukses yang Langka: Kasus Vinca 

Dalam tumpukan keluhan dan penantian, satu kisah sukses muncul dari Vinca, anggota AKI. Perusahaannya berhasil memperoleh dua sertifikat BIS – satu lisensi baru dan satu perpanjangan. Namun, jalan yang harus ditempuh sangatlah terjal: lisensi yang diajukan Juli 2024 baru diberikan Januari 2025, setelah serangkaian surat dikirim ke empat kementerian berbeda di India dan ratusan korespondensi dengan KBRI.

“Kami bahkan tidak yakin apakah surat kami yang menyebabkan lisensi keluar. Tapi kami kirim ke semua pihak — dari Menteri Perdagangan India sampai Kedubes,” kata Vinca.

Industri Tekstil: Tercekik Harga dan Warna

Di sektor tekstil, masalah makin kompleks. Proses sertifikasi BIS mewajibkan pengujian untuk setiap varian warna. Jika perusahaan memproduksi 30 warna, maka 30 sampel harus diuji – padahal hanya dua yang akan diekspor.

Andrew dari API menyebut bahwa India juga menerapkan harga minimum ekspor untuk produk kain sebesar US$3.5/kg. Produk di bawah harga tersebut otomatis ditolak masuk, meski secara mutu dan permintaan sangat tinggi.

“Ini jelas hambatan teknis. Dan pengujian warna bisa makan waktu dua minggu per sampel. Ini tidak efisien dan memberatkan pelaku industri,” ujar Andrew.

Strategi Kolektif: Dari Surat ke Sidang WTO

Menanggapi tekanan ini, asosiasi industri sepakat mengajukan surat bersama ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan BSN. Tujuannya: mendorong pemerintah untuk membawa isu ini ke ranah bilateral dan forum multilateral seperti Sidang TBT WTO (Technical Barriers to Trade) pada 25 Juni 2025.

“Surat dari satu-dua asosiasi tak cukup kuat. Kita perlu menunjukkan ini masalah nasional,” kata Redma.

BSN akan memimpin presentasi dalam sidang TBT tersebut, sementara masing-masing asosiasi akan mengirim surat yang menjelaskan kendala sektoral mereka. Ada juga usulan mendorong terbentuknya Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan India, sehingga sertifikasi bisa saling diakui dan tidak perlu verifikasi ulang.

India Diam, Indonesia Bertindak

Upaya diplomatik telah dilakukan oleh Menteri Perdagangan Indonesia dan BSN, namun belum menghasilkan respon memadai dari India. Menurut laporan Johan, seorang pelaku ekspor yang berjejaring dengan pelanggan di India, perhatian pemerintah India kini lebih tertuju pada konflik internal dan agenda politik domestik.

“Kita butuh langkah di tingkat presiden. Surat-menyurat saja tidak cukup,” pungkas Johan.

Apa Selanjutnya?

Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi sertifikasi BIS dari India menunjukkan gejala yang lebih luas: bangkitnya hambatan non-tarif di tengah tekanan ekonomi global. Dalam beberapa tahun terakhir, India bukan satu-satunya negara yang menerapkan kebijakan protektif terselubung dalam bentuk standardisasi teknis. Namun, dampaknya pada eksportir kecil-menengah Indonesia sangat nyata.

Langkah koordinatif yang kini dirancang – dari diplomasi bilateral, pengajuan ke WTO, hingga mobilisasi antar asosiasi – akan menjadi ujian tersendiri bagi kemampuan Indonesia menghadapi ketimpangan sistem perdagangan global.

“Jika negara tidak hadir di saat seperti ini, industri bisa mati pelan-pelan,” ujar seorang pelaku industri dengan nada kecewa.

Catatan Akhir

Sebagai penutup, persoalan sertifikasi BIS bukan semata soal izin teknis. Ini menyangkut keadilan, keberpihakan, dan kesetaraan dalam sistem perdagangan global. Jika Indonesia ingin menjadi bagian penting dalam rantai nilai dunia, maka diplomasi ekonomi harus sigap, responsif, dan berpihak pada pelaku industri nasional.