India Perketat Standar Impor Melalui QCO: Tantangan Baru bagi Ekspor Indonesia
New Delhi – Jakarta | Agustus 2025
Langkah India menerapkan kebijakan Quality Control Order (QCO) pada berbagai produk impor, termasuk plywood dan bahan baku industri seperti Viscose Staple Fiber (VSF), telah memicu gelombang reaksi dari dunia usaha Indonesia. Di balik dalih peningkatan kualitas barang dan perlindungan konsumen domestik, banyak pihak menilai kebijakan ini juga merupakan bentuk hambatan teknis perdagangan (TBT) terselubung yang dapat mengganggu hubungan dagang strategis antara kedua negara.
Penerapan QCO oleh India bukan muncul tiba-tiba. Negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa ini tengah berusaha menekan defisit perdagangannya yang cukup besar, terutama akibat membanjirnya produk impor. Data menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, neraca dagang Indonesia–India justru selalu surplus di pihak Indonesia. Pada 2024 saja, Indonesia mencatat ekspor senilai USD 20,38 miliar ke India—menjadikannya negara tujuan ekspor keempat terbesar dengan kontribusi 7,65% dari total ekspor nasional.
Namun, dari sisi India, ketimpangan ini menjadi perhatian. Sebagai respons, New Delhi menggencarkan kebijakan standardisasi melalui QCO—yakni pemberlakuan sertifikasi wajib oleh Bureau of Indian Standards (BIS) untuk produk-produk impor tertentu.
Indonesia langsung merasakan dampaknya. Produk VSF, salah satu bahan baku penting tekstil, gagal masuk pasar India sejak 29 Desember 2022. Bukan karena kualitasnya buruk, tapi karena produsen dalam negeri belum bisa mendapatkan sertifikasi BIS sesuai skema Foreign Manufacturers Certification Scheme (FMCS).
Beberapa pelaku usaha Indonesia, termasuk produsen plywood dan wooden flush door, mengaku telah mengajukan aplikasi ke BIS sejak Juni 2024. Mereka bahkan sudah berinvestasi pada fasilitas pengujian sesuai standar IS 303:1989. Namun hingga kini, tak ada kejelasan jadwal audit dari BIS. Situasi ini diperparah oleh fakta bahwa seluruh laboratorium pengujian yang diakui BIS hanya berada di India. Alhasil, proses verifikasi sampel memakan waktu hingga berbulan-bulan tanpa kepastian—dengan antrean audit yang mengular karena BIS menjadi satu-satunya Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro).
Kondisi ini menimbulkan frustrasi. Proses sertifikasi tidak transparan dan bisa memakan waktu hingga 31 bulan, seperti yang terjadi pada produk plain copier paper. Tanpa Service Level Agreement (SLA), pelaku usaha tidak bisa memprediksi kapan audit dilakukan, apakah uji sampel perlu diulang, hingga kapan lisensi keluar. Tak pelak, hal ini mengancam kesinambungan ekspor dan menciptakan ketidakpastian usaha.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pada 26 November 2024, Menteri Perdagangan RI mengirimkan nota diplomatik kepada mitranya di India, menyatakan keberatan atas lambatnya proses sertifikasi dan mendesak percepatan.
Langkah-langkah lain juga dilakukan, mulai dari:
- Penyampaian Specific Trade Concern (STC) di forum WTO TBT sejak Maret 2024.
- Pengangkatan isu QCO dalam forum ASEAN-India Trade in Goods Agreement (AITIGA).
- Delegasi langsung ke India pada Juni 2024 untuk pertemuan konsultatif dengan BIS dan Kementerian Tekstil India.
- Penyampaian daftar 4 perusahaan Indonesia yang sudah mendaftar BIS agar audit segera dijadwalkan.
Dari sisi dunia usaha, Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) dan PT IMR ARC Steel juga telah mengirim surat resmi ke Kementerian Perdagangan, meminta dukungan dan mediasi atas proses sertifikasi BIS yang dinilai rumit dan mahal. Mereka berharap ada intervensi yang lebih kuat agar produk Indonesia bisa bersaing secara adil di pasar India.
Tak hanya itu, APKINDO sebagai perwakilan pengusaha kayu lapis Indonesia bahkan pernah mengirim delegasi ke India yang terdiri dari Dewan Pengurus APKINDO dan perwakilan dari PT. Mutu Agung Lestari. Delegasi ini melakukan pertemuan dengan BIS dan otoritas terkait di India untuk menyampaikan langsung kendala yang dihadapi serta mendorong agar India mempertimbangkan opsi Third Party Certification Body di Indonesia yang dapat diakui dalam skema QCO.
Sejumlah langkah diplomatik Indonesia mulai membuahkan hasil, walau masih terbatas. India telah memperpanjang masa transisi QCO hingga 28 Februari 2025. Namun, tanpa percepatan audit dan pengakuan laboratorium uji luar negeri, bottleneck akan tetap terjadi.
Indonesia juga telah menyampaikan harapan agar BIS dapat bekerja sama dengan lembaga penilaian kesesuaian di Indonesia untuk proses audit dan inspeksi. Bila ini terwujud, akan memperpendek waktu tunggu dan menurunkan biaya sertifikasi secara signifikan.
Jika ingin bertahan di pasar India, dunia usaha Indonesia perlu beradaptasi secara proaktif:
1. Pahami sepenuhnya skema BIS – termasuk ketentuan AIR (Authorized Indian Representative), tata cara pengajuan, serta prosedur audit dan pengujian.
2. Segera siapkan fasilitas produksi dan dokumen teknis sesuai standar IS India.
3. Bangun konsorsium atau platform bersama dengan asosiasi industri untuk percepatan pengujian dan pengajuan lisensi.
4. Dorong pengembangan laboratorium pengujian dalam negeri yang dapat diakui BIS ke depan, agar tidak tergantung pada laboratorium di India.
Pemerintah juga mesti mendorong:
- Negosiasi Mutual Recognition Agreement (MRA) antara BSN dan BIS.
- Pembentukan fast-track audit untuk negara mitra strategis seperti Indonesia.
- Diplomasi teknis dan politik secara paralel untuk menekan hambatan nontarif terselubung.
Dari pengalaman QCO India ini, ada beberapa lessons learned penting:
1. Standar adalah alat legal dalam mengendalikan akses pasar. Siapa yang menguasai standar, dia yang mengatur permainan.
2. Adaptasi cepat terhadap perubahan standar internasional adalah keharusan, bukan pilihan.
3. Diplomasi teknis harus dibarengi diplomasi ekonomi dan hukum, agar industri domestik tidak dikorbankan oleh aturan sepihak mitra dagang.
Melihat tren proteksionisme teknis yang makin marak, sudah saatnya Indonesia memperkuat early warning system untuk notifikasi TBT/SPS dari negara mitra. Indonesia juga perlu memodernisasi fasilitas uji dalam negeri, bukan hanya untuk India, tetapi juga untuk pasar lain seperti Uni Eropa, AS, dan Jepang.
Strategi ekspor juga perlu didiversifikasi. Produk dengan potensi hambatan tinggi harus didampingi oleh strategi pasar baru yang lebih resilient—termasuk promosi keberlanjutan (sustainability), sertifikasi ISPO, dan narasi ramah lingkungan sebagai nilai tambah.
QCO India menjadi alarm penting bagi Indonesia bahwa liberalisasi perdagangan tidak berarti tanpa hambatan. Saat dunia makin canggih menyusun benteng teknis dalam bentuk standar, uji laboratorium, dan lisensi, hanya negara yang siap secara teknis dan diplomatis yang bisa bertahan.
Indonesia masih punya waktu, tapi jam berdetak cepat. Bila ingin menjaga posisinya sebagai mitra dagang strategis India, Indonesia harus memastikan bahwa hambatan teknis tidak mengubur potensi ekspor kita. (geo_rob)